DUALISME KEPENGURUSAN (PERMASALAHAN KLASIK KOPERASI)
Beberapa waktu belakangan ini, sering kita dengar terjadi perselisihan yang disebabkan oleh adanya dua kepengurusan yang masing-masing merasa pihak nya lah yang sah sebagai pengurus. Dualisme kepengurusan banyak terjadi disebabkan ketidakpercayaan salah satu pengurus atau anggota terhadap pengurus yang ada. Saling klaim sebagai pengurus yang sah tentu menyebabkan kegiatan usaha koperasi tidak dapat berjalan dengan baik dan hubungan dengan pihak lain menjadi bermasalah, siapa yang sah mewakili koperasi.
Terjadi nya dualisme kepengurusan sebenarnya tidak akan pernah terjadi, bila koperasi benar-benar menjalankan peraturan yang secara benar. Periodesasi kepengurusan sebagaimana ketentuan Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian Pasal 29 ayat (4) dijelaskan bahwa masa jabatan pengurus paling lama 5 (lima) tahun dan ketentuan untuk dipilih dan pengangkatan nya di tentukan dalam anggaran dasar. Tapi bisa saja dalam masa kepengurusan, terdapat suatu kondisi dimana pengurus tidak menjalankan tugasnya dengan baik dan dapat di lakukan penggantian.
Dalam hal penggantian, pengangkatan dan pemberhentian pengurus wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Kewenangan untuk mengganti, memberhentikan pengurus ada pada rapat anggota. Pasal 23 huruf c disebutkan bahwa rapat anggota menetapkan pemilihan, pengangkatan, pemberhentian pengurus dan pengawas. Tentunya rapat anggota yang di maksud adalah Rapat Anggota Luar Biasa yang memang keadaan nya mengharuskan adanya keputusan segera yang wewenangnya ada pada rapat anggota. (Pasal 27 ayat 1 UU No. 25 Tahun 1992).
Disinilah sering terjadi permasalahan saat Rapat Anggota Luar Biasa dilakukan kehadiran anggota yang tidak Kuorum, sehingga putusan yang dihasilkan tidak legitimate dan tidak diterima oleh salah satu pihak.
Ketentuan Kuorum diatur dalam Peraturan Menteri Koperasi dan UKM NOMOR 19/PER/M.KUKM/IX/2015 tentang Penyelenggaraan Rapat Anggota Koperasi. Pasal 8 ayat (2) Permen kop ini menyebutkan Rapat Anggota Luar Biasa dapat dilaksanakan atas usul anggota paling sedikit 1/5 (satu per lima) dari jumlah anggota koperasi. selanjutnya pada ayat (3) disebutkan Permintaan penyelenggaraan Rapat Anggota Luar Biasa sebagaimana dimaksud ayat (2) disampaikan secara tertulis kepada pengurus dengan tembusan Pejabat yang berwenang. Ketentuan pejabat yang berwenang ini merupakan pintu masuk Dinas yang membidangi koperasi dan UKM untuk melakukan kewenangan nya sebagai pembina.
Ketentuan mengenai kuorum jelas di atur dalam Peraturan Menteri Koperasi ini. Pasal 10 huruf a dan b menyebutkan :
a. Rapat Anggota koperasi dinyatakan kuorum apabila dihadiri sekurang-kurangnya 1/2 (setengah) plus 1 (satu) dari jumlah anggota yang tercatat dalam daftar anggota;
b. Rapat Anggota Luar Biasa dinyatakan sah apabila disetujui paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota yang tercatat dalam daftar anggota.
Pejabat sebagaimana disebutkan pada Pasal 8 diatas sesuai dengan Pasal 62 huruf e UU No. 25 Tahun 1992 dimana pemerintah diwajibkan untuk memberikan bantuan konsultasi guna memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh koperasi dengan tetap memperhatikan Anggaran dasar dan prinsip koperasi. Kewenangan tersebut di perkuat dalam UU N0. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pada lampiran huruf q dimana pemerintah pusat, pemerintahan daerah propinsi dan kabupaten/kota mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap koperasi sesuai dengan wilayah keanggotaan nya.
Dalam hal sudah terjadi dualisme kepengurusan, yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan upaya mediasi terhadap masing masing kepengurusan yang ada. Patut di ingat, bahwa koperasi adalah badan hukum privat yang mengatur dirinya sendiri (self regulated) dan sebenarnya tidak bisa di intervensi oleh pihak lain. Fungsi pemerintah hanya sebatas melakukan mediasi tanpa mempunyai kewenangan untuk menyatakan satu pihak yang benar, pihak yang lain salah. Kewenangan untuk menguji ke absahan kepengurusan adalah Lembaga peradilan. Putusan pengadilan akan dijadikan dasar hukum dalam melakukan pengesahan kepengurusan.
Beberapa hal tersebut wajib di pahami oleh Pembina Koperasi baik di Pusat maupun oleh Pemerintah baik Propinsi dan Kabupaten/Kota. Pemahaman yang buruk kenyataan nya makin memperburuk permasalahan dualisme kepengurusan. Tidak ada satu pun kewenangan dari pemerintah untuk memberi kan penilaian terhadap ke absahan permasalahan kepengurusan karena sebagai badan hukum private yang dapat menyelesaikan permasalahan koperasi adalah koperasi itu sendiri menggunakan mekanisme rapat anggota atau melalui lembaga peradilan untuk menguji pihak mana yang sah sebagaimana ketentuan yang ada.
Betul pak Henra 👍.. keputusan kepengurusan Koperasi berada di tangan Koperasi sendiri sehingga fungsi pemerintah terbatas hanya sebagai mediator.
BalasHapusBagus, itu kelumrahan org yng mendua
BalasHapus