Penerapan BO dalam Menghindari Penyalahgunaan Layanan Koperasi
Akhir-akhir ini kita banyak di suguhkan dengan berita-berita yang memperlihatkan beberapa koperasi yang bermasalah seperti gagal bayar koperasi kepada aggotanya, penyalahgunaan keuangan koperasi dan lain sebagainya. Kondisi tersebut berakibat kepada hilangnya kepercayaan masyarakat kepada koperasi karena kecenderungan rendahnya kontrol terhadap kegiatan usaha koperasi.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa koperasi sebagaimana ketentuan Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, pasal 9 di sebutkan bahwa koperasi adalah badan hukum. Sama seperti dengan badan hukum Perseroan Terbatas. Sebagaimana data dari kementerian Koperasi dan UKM per Maret 2020, jumlah Koperasi aktif di Indonesia berjumlah 122,614 koperasi yang terdiri dari koperasi jenis Produsen, Konsumen, Pemasaran, Jasa dan Simpan Pinjam. Dan dari jumlah tersebut, sebanyak 16,549 merupakan Koperasi Simpan Pinjam atau Koperasi Simpan Pinjam Pola Syariah.
Melihat jumlah KSP/KSPPS sebanyak 16,549 merupakan jumlah yang sangat besar bagi badan usaha di sektor keuangan. Bila di bandingkan dengan Bank, menurut data dari Bank Indonesia, jumlah Bank Umum hanya berjumlah 110 yang beroperasi di Indonesia. Dengan jumlah KSP/KSPPS yang demikian besar merupakan tantangan tersendiri bagi Kementerian Koperasi dan UKM karena ijin simpan pinjam dan pengawasan dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan UKM sendiri di luar dari pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tetapi bila Koperasi yang menjalankan jasa keuangan di luar usaha simpan pinjam seperti Lembaga Keuangan Mikro, maka pengawasan usaha nya dilakukan oleh OJK.
Kembali kepada pemberitaan negatif terhadap koperasi khususnya KSP/KSPPS, sudah terjadi sejak beberapa tahun yang lalu dari gagal bayar yang terjadi pada Koperasi Cipaganti, Koperasi Langit Biru, Koperasi Pandawa, hingga yang terjadi akhir-akhir ini yaitu KSP Hanson dan KSP Indosurya. 2 (dua) yang terakhir ini telah menyita perhatian masyarakat dengan jumlah dana yang gagal bayar sangat spektakuler yang mencapai trilunan rupiah seperti KSP Indosurya yang mencapai 10 (sepuluh) triliun rupiah.
Keadaan ini sangat memprihatinkan karena jumlah uang yang gagal (dana yang sudah jatuh tempo) di bayarkan sangat besar (10 Triliun) begitu juga dengan jumlah anggota (masyarakat menyebutnya nasabah) sangat banyak yang mengalami gagal bayar. Hal ini menimbulkan domino effect tidak hanya bagi kepercayaan masyarakat kepada koperasi tetapi juga keamanan dan kenyamanan masyarakat. Lalu timbul pertanyaan, apakah memang pengawasan koperasi itu lemah karena seakan keadaan ini terus berulang? Pertanyaan selanjutnya, apakah praktek-praktek penyalahgunaan aturan dapat dihindari sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi anggota?
Penulis melihat, bahwa tidak semua Koperasi Simpan Pinjam itu bermasalah. Banyak yang baik dan membanggakan sehingga memberikan manfaat kepada anggota khususnya dan masyarakat pada umumnya. Koperasi sejatinya di dirikan untuk melayani kepentingan anggota nya. Khusus Koperasi Simpan Pinjam yang memang di design sebagai single purpose. Artinya KSP hanya menjalankan usaha simpan pinjam dengan memberikan layanan pinjaman dan simpanan antara anggota dan koperasi nya. Adapun Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1995 tentang Kegiatan Usaha Simpan Pinjam memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menjadi calon anggota Koperasi Simpan Pinjam hanya untuk waktu tertentu yaitu paling lambat 3 (tiga) bulan. Tapi pada kenyataan nya, banyak dari KSP/KSPPS melanggar ketentuan tersebut. Belum lagi, ada beberapa KSP/KSPPS yang didirikan sebagai sister company atau badan usaha untuk menampung kepentingan korporasi yang ada. Dari beberapa permasalahan KSP/KSPPS yang ada, dominan disebabkan karena keterkaitan antara koperasi dan korporasi dalam 1 (satu) group (meskipun hampir semua kejadian tidak mengakui adanya hubungan tersebut).
Sebenarnya, untuk menghindari kemungkinan penyalahgunaan kegiatan usaha KSP dan KSPPS ini telah di bentuk beberapa peraturan perundang-undangan. Hanya saja pengurus koperasi dan pembina tidak maksimal menjalankan dan menerapkan ketentuan tersebut.
Yang Pertama. Ketentuan layanan Simpan Pinjam hanya di peruntukkan kepada anggota koperasi. Ketentuan ini sebenarnya sederhana tapi sangat sulit dilakukan oleh koperasi. Kenapa ? Karena pengurus koperasi begitu juga pendiri koperasi tidak rela hasil usaha koperasi di nikmati oleh semua anggota koperasi. Kalau kita perhatikan, beberapa KSP memiliki jumlah calon anggota yang begitu banyak sedangkan anggota yang tercatat di buku daftar anggota, tidak sebanding dengan jumlah calon anggota. Pemerintah harus tegas menegakkan aturan ini sehingga tujuan dari pada pendirian koperasi itu tercapai dan yang paling penting adalah mengindari penyalahgunaan kewenangan oleh pengurus atau beberapa orang anggota saja.
Yang kedua. Pengawasan ijin simpan pinjam yang ketat. Benar, bahwa sebagaimana ketentuan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, lampiran huruf Q, disebutkan bahwa kewenangan terhadap pemberian ijin simpan pinjam dan ijin kantor cabang, cabang pembantu dan kantor kas dilakukan oleh Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat sesuai dengan kewenangan nya, tidak berubah meskipun dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Terintegrasi secara Elektronik mengharuskan proses pengajuan nya melalui Online Single Submission (OSS). Kewenangan sebagaimana ketentuan UU No. 23 Tahun 2014 dan PP 24 Tahun 2018 ini kemudian di atur lebih lanjut dengan penyusunan Norma Standar Prosedur dan Kriteria (NSPK) dalam Peraturan Menteri Koperasi dan UKM No. 11 Tahun 2018 tentang Perizinan Usaha Simpan Pinjam Koperasi jo Peraturan Menteri Koperasi dan UKM No. 05 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Koperasi dan UKM No. 11 Tahun 2018. Pemerintah harus secara tegas dan berkala memastikan bahwa komitmen yang di persyaratkan dalam Peraturan Menteri tersebut tetap dipenuhi. Bila dalam perjalanan usaha KSP/KSPPS tersebut ditemukan pelanggaran, maka pembina koperasi baik kementerian maupun dinas dapat mengajukan pencabutan ijin kepada OSS (BKPM sebagai penyelenggara OSS).
Yang Ketiga. Penentuan Pemilik Manfaat yang Sebenarnya/ Beneficiary Ownership. Ketentuan BO ini memang masih bagi pelaku usaha di Indonesia. BO ini lahir sebagai konsekuensi dari maraknya praktek pencucian uang hasil kejahatan korupsi dan pendanaan terorisme. Tetapi pada perjalanan nya tidak hanya untuk mengantisipasi 2 (dua) tindak pidana tersebut tetapi lebih luas lagi yaitu untuk mengetahui siapa sebenarnya pemilik manfaat dari pendirian korporasi tersebut termasuk di dalam nya koperasi. Ketentuan BO itu sendiri diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Saat ini, setiap korporasi yang akan didirikan termasuk di dalam nya koperasi wajib mencantumkan siapa pemilik manfaat sebenarnya dari koperasi tersebut. Koperasi yang memiliki afiliasi atau satu group dengan korporasi lain, wajib mencantumkan BO nya sehingga dapat di ketahui sejak pendirian siapa yang akan bertanggung jawab bila terjadi penyelewenangan dalam koperasi. Pencantuman BO ini tidak lah mudah bagi koperasi karena koperasi adalah member base tetapi khusus untuk koperasi yang secara kasat mata memiliki afiliasi dengan korporasi lainnya, wajib secara tegas mencantumkan siapa pemilik manfaat sebenarnya.
Yang Keempat. Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ) Ketentuan ini pun tidak terlepas dari upaya untuk menghindari adanya pencucian uang dan pendanaan terorisme. Tetapi untuk konteks saat ini, tidak hanya terhadap 2 (dua) tindak pidana tersebut tetapi lebih luas dari itu adalah untuk mendeteksi kepada siapa layanan yang diberikan. Dalam penerapan PMPJ, ketersediaan data anggota atau pengguna jasa (beberapa masyarakat menyebutnya Nasabah), jejak rekam dan berbagai transaksi yang dilakukan, serta administrasi atau penatausahaan dokumen informasi yang baik, dapat dimanfaatkan untuk melakukan berbagai kajian termasuk dalam pengembangan usaha dan mampu melaporkan transaksi keuangan mencurikan. Ketentuan PMPJ ini pun berlaku bagi koperasi dan diatur dalam Peraturan Menteri Koperasi dan UKM No. 6 Tahun 2017 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Koperasi yang melakukan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam.
Penulis berpandangan, bahwa ke empat ketentuan tersebut saat ini tidak dilaksanakan dengan maksimal oleh koperasi sehingga koperasi yang berdiri tidak dapat di pertanggung jawabkan keberlangsungan kegiatan usahanya.
Belajar dari beberapa kejadian koperasi yang bermasalah tersebut belakangan ini, maka pemerintah harus tegas dan berani melakukan tindakan pembinaan bila telah terjadi permasalahan kepada koperasi dan secara tegas menerapkan 4 (empat) ketentuan tersebut sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan untuk menghindari pelanggaran yang dilakukan oleh koperasi khusus nya koperasi khususnya KSP dan KSPPS.#henrasaragih73
Komentar
Posting Komentar